Jumat, 21 September 2012

Cerpen yang Gagal


Titik-Titik Putih
Malam ini bintang begitu sepi. Yang terlihat hanyalah temaran cahaya bulan yang belum lama meninggalkan masa sabitnya. Berkemah di tempat ini bukanlah rencana terbaik kami. Bukan karena dikelilingi oleh makam-makam tua, namun karena kondisi lapangan itu sendiri. Begitu becek oleh karena bocornya selang air yang semrawut disamping utara.
Naas sekali, malam ini benar-benar mendung dan gelap. Keterbatasan panitia perkemahan membuatku tak boleh lengah. Ku putuskan untuk berjalan, menyibak keheningan di hutan bambu. Mungkin saja ada yang bisa ku temukan disana.
Ditemani oleh hembusan sang bayu, aku tegaskan lankah kaki ini. Aku tak berbekal senter ataupun petromak, aku justru memilih untuk membawa sebuah kamera digital saja. Entah mengapa, naluriku ingin aku seperti itu.
Langkah demi langkah mulai berjejak, ku susuri hutan bambu yang ada di belakang lapangan ini. Sendirian. Semakin lama, semakin jauh kaki ini mengantarkanku. Tepat ketika mata ini menangkap cahaya dari lampu sebuah sumur tua di belakang rumah warga, langkah kakiku terhenti. Seakan ada yang membisikkan sesuatu, aku mulai menggunakan kamera yang kubawa. Ku foto sekeliling tempat itu.
“Nak!”
Rasanya panca inderaku menangkap hal yang berbeda, hal yang memecahkan gumamku di tempat itu. Ya, karena suara itu, dan karena sebuah tangan tua mendarat tepat di pundakku.
“Sedang apa kau disini? Pulanglah! Ini bukan tempatmu.”
Suara itu begitu menggelegar dan bernada tinggi. Tanpa sempat berkata-kata, kaki ini seakan tak bisa menolak teguran sang kakek. Melangkah begitu cepat, setengah berlari, kemudian aku berlari, sampai akhirnya aku terjatuh di sebuah tempat yang cukup asing bagiku. Tempat yang berpagar  tinggi dengan bertuliskan ‘makam adipati mrapat’. Dan sekali lagi, aku menghidupkan kameraku untuk mengambil gambar tempat yang cukup menakjubkan ini.
Kulanjutkan perjalanan yang kurasa belum menemukan tepian. Tapi mungkin akan lebih baik jika aku kembali ke perkemahan. Sambil berjalan, aku melihat hasil foto di dua tempat tadi.
“Apaan nih? Koq ada titik-titik putih? Wah payah nih kamera! Padahal kan belum lama.”
Mengetahui aku sedang menggerutu, salah seorang pembina, pak erik, menghampiriku.
“Lagi ngapain kamu? Kok bersungut-sungut kaya orang kebakaran jenggot gitu?”
“Saya ngga pernah punya jenggot, pak. Lagian kan saya cewe, mana mungkin punya jenggot?”
“O’iya, bapak lupa! Abisnya kamu lebih ganteng dari saya sih, jadi saya kira kamu cowo.”
*ih, geblek juga nih orang! Lama-lama gue iket di bawah po’on nangka bareng kambing juga nih. Sapa tau ternyata nih orang memendam perasaan mendalam sama si embek*
“ah, bapak becanda! Ini nh, hasil jepret kamera saya jadi jelek banget gini, pak.”
“Coba sini bapak liat!................
Lho, ini sih bukan hasil jepret kameramu yang jelek, tapi kamunya yang jelek.”
*kampret! Ente kira ente lebih cakep dari kambing ane he!?*
“Aduh, serius dong, Pak!”
“Baiklah, Dakem. Ini bukan soal hasil jepret atau kamera kamu yang jelek. Tapi bintik-bintik alias titik titik putih ini namanya ‘ops’.”
“Sejenis ciki-ciki yang udah jarang dijumpai itu ya, Pak?”
“Bukan ops makanan, Ndalo! Dasar pikiranmu makan melulu.........
Ops itu semacem penampakan makhluk halus yang secara sengaja atau mungkin enggak sengaja menampakkan diri.”
“Tapi disana saya nggak liat hantu maupun dedemit, Pak.”
“Ya, maka dari itulah. Gambar makhluk halus yang ditangkap kamera ini pun kurang sempurna. Jadi yang bisa kita lihat ya Cuma bintik-bintik putih ini.
Tapi kalo foto ini kita pindahin ke laptop, nanti gambar aslinya bisa kebaca kok.”
“Maksudnya, Pak?”
“Ya, kalo dilihat di laptop, ops ini bakal ketauan wujud aslinya. Misalkan itu sosok perempuan, binatang seperti macan, atau mungkin ya sosoknya serem banget kaya kamu gitu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar