Jumat, 18 Maret 2016

Pengaruh Media terhadap Komunitas

Media dan Komunitas

ilustrasi sebuah komunitas
Zaman terus berkembang, manusia terus berkarya menghasilkan sesuatu yang bermanfaat guna memudahkan kegiatan-kegiatannya di berbagai sektor. Sebuah alat yang diciptakan untuk memudahkan pekerjaan manusia disebut teknologi.
Teknologi bukan hanya diciptakan untuk memudahkan kegiatan manusia di lapangan dalam artian teknis, namun juga teknologi dibutuhkan untuk kemudahan berkomunikasi. Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa tidak melakukan komunikasi dengan orang lain karena kita ditakdirkan untuk saling mengisi dan melengkapi. Perkembangan kehidupan manusia yang semakin maju mengharuskan sebagian besar diantaranya memiliki mobilitas yang tinggi guna memenuhi kebutuhannya salah satunya yaitu melakukan perjalanan. Sebagai contoh, kita tentu tidak bisa melupakan bagaimana bangsa-bangsa Eropa seperti Inggris, Portugis, dan Belanda rela melakukan perjalanan beribu-ribu kilometer hanya untuk mendapatkan rempah-rempah terbaik dengan harga termurah untuk diboyong ke negerinya sebagai penghangat tubuh dalam dinginnya balutan cuaca Eropa.
Kembali lagi ke teknologi. Dengan terbentangnya jarak ribuan kilometer manusia tetap ingin saling terhubung, mendapatkan informasi paling up-to-date, dimana informasi tersebut akan dijadikan sebuah dasar dalam suatu pengambilan keputusan. Mereka berusaha mendapatkan informasi secepatnya dengan lengkap dan mudah. Oleh karena itu, manusia membutuhkan suatu media yang berbasis teknologi untuk bisa berkomunikasi melampaui batasan ruang dan waktu.
Tahapan perkembangan teknologi media bisa ditandai dengan kemunculan radio yang ditemukan oleh Guglielmo Marconi pada tahun 1825 yang
mampu mentransmisikan sinyal berupa kode atau sandi morse. Pada awal kemunculannya, radio digunakan untuk komunikasi antar kapal agar tidak saling bertabrakan maupun hilang. Kemudian, radio mulai diproduksi dan dipasarkan secara massal di tahun 1920-an di Amerika Serikat. Radio digunakan sebagai media pengenalan sekaligus pelestarian budaya Amerika terhadap masyarakatnya (dampak positif). Namun, seiring berjalannya waktu, radio dijadikan sebagai salah satu alat propaganda baik perang maupun politik (dampak negatif).
Tidak begitu jauh dari perkembangan radio, sekitar tahun 1960-an televisi mulai go public. Muatan yang disajikan kepada masyarakat pun bukan main-main, televisi memiliki visi mulia sebagai sarana edukasi yang lebih efektif dari media lain seperti radio maupun surat kabar. Namun, pada akhirnya nasib televisi tidak jauh berbeda dengan pendahulunya, radio. Televisi juga digunakan sebagai alat propaganda (kampanye politik), serta alat komersil untuk pemenuhan kebutuhan kaum kapitalisme. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, televisi swasta pertama, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) harus rela gulung tikar dan berganti kepemimpinan (sekaligus berganti nama-red) karena ketiadaan dana yang cukup untuk menyokong program-program di dalamnya. Kini, wajah buram televisi swasta di Indonesia tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Jumlah tayangan yang mengedukasi hanyalah sepersekian dari tayangan-tayangan yang sangat menghawatirkan dapat merusak moral dan nilai-nilai masyarakat yang sudah ada. Lantas, berapakah tayangan yang masih layak untuk ditonton khususnya bagi anak-anak yang sangat rentan terhadap pengaruh media? Jumlahnya mungkin hanya hitungan jari. Selain mengesampingkan fungsi pendidikan, kita akui bahwa televisi juga terlalu banyak ditumpangi muatan komersil seperti iklan segala macam yang dapat membangkitkan emosi konsumtif masyarakat lewat visualisasi dan audio yang menggugah selera. Selain itu, gempuran yang masif membuat masyarakat secara tidak sadar cenderung akan terpengaruh.
Selain televisi, perkembangan film juga merupakan salah satu bawaan perkembangan teknologi media. Film dijadikan sebagai media untuk memperkenalkan dan atau melestarikan norma-norma dan budaya masyarakat yang sudah ada. Film bisa juga dijadikan sebagai alat propaganda. Dalam perang dunia ke-2, tentara Jepang bahkan diputarkan sebuah film khusus untuk membangkitkan rasa nasionalismenya tidak peduli bahwa kebengisan mereka akan semakin menjadi-jadi.
Meluncur lebih jauh, kini kita berada di era dimana dunia seakan dalam genggaman. Ya, era internet telah mengaburkan batasan-batasan ruang dan waktu. Kehadiran internet pada mulanya ialah untuk memudahkan orang-orang mengakses informasi lebih cepat serta kemunculannya ditujukan untuk mengedukasi masyarakat sehingga potensi kejahatan diharapkan dapat berkurang. Kini, internet seakan menawarkan semuanya dimana jarak dan waktu benar-benar bukan lagi sebuah batas. Orang-orang yang terlibat dan beraktivitas di dunia maya yang memiliki persamaan minat dan tujuan disebut dengan Komunitas Virtual. Istilah komunitas virtual sendiri dicetuskan pertama kali oleh Rheingold dalam bukunya The Virtual Community: Homesteading on the Electronic Frontier (2000). Ada hal yang menarik dalam pemikiran Rheingold di buku ini. Dia mengatakan,
“People in virtual communities use words on screens to exchange pleasantries and argue, engange in intelectual discourse, conduct commerce, exchange knowledge, share emotional support, make plans, brainstorm, gossip, feud, fall in love, find friends and lose them, play games, flirt, create a little high art and a lot of idle talk. People in virtual communities do just about everything people do in real life, but we leave our bodies behind. You can’t kiss anybody and nobody can punch you in the nose, but a lot can happen within those boundaries. (1993b:3)”
Saya tidak mencoba untuk menerjemahkan kata demi kata dalam paragraf tersebut mengingat terbatasnya kata dalam esay ini. Oleh karena itu, mari kita bandingkan komunitas virtual dengan lawannya yang sepadan yaitu Komunitas Organis yang merupakan komunitas nyata dan dipertemukan secara fisik dalam satu ruang dan waktu. Ya, pertanyaan selanjutnya adalah: apa-apa saja perbedaan karakteristik antara ‘virtual community’ dengan ‘organic community’? Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat tabel di bawah ini:

Karakteristik
Komunitas organis
Komunitas virtual
Komposisi dan kegiatan
Kelompok sempit
Beberapa kegiatan
Kehilangan afiliasi
Kegiatan khusus
Organisasi sosial
Terikat ruang dan waktu
Tidak terikat ruang dan waktu
Bahasa dan interaksi
Verbal dan nonverbal
Verbal dan paralanguage
Budaya dan identitas
Total singular
Homogen
Partial plural
Heterogen
    * Bentuk pertemuan
Bertemu secara langsung (meet)
Bertatap muka (face)

Sumber: Van Dijk, 1998:45
                *) diskusi perkuliahan Teknologi Komunikasi (17/03/2016)
Dari tabel di atas, ada banyak pertanyaan yang mungkin untuk dimunculkan. Misalnya, apakah kelompok virtual yang pada suatu waktu memutuskan untuk mengadakan pertemuan secara fisik dapat dikatakan sebagai kelompok organis? Jawabannya, belum tentu. Tergantung dari intensitas komunikasi mereka. Apabila komunitas tersebut hanya mengadakan meet-up sekali atau dua kali, pada even-even tertentu saja sedang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berkomunikasi secara virtuan maka kelompok tersebut tidak serta-merta bisa dikatakan telah berubah menjadi komunitas organis begitu pula dengan cerita yang sebaliknya.
Satu lagi pertanyaan yang jawabannya hampir sama yaitu, manakah yang lebih efektif dan bermanfaat bagi perkembangan individu? Jawabannya juga tergantung. Kita tidak bisa menjudge komunitas organis lebih baik karena ikatan emosi yang dibangun lebih baik dari pertemuan secara langsung karena semua itu kembali lagi kepada tiap individu. Bisa jadi yang di komunitas virtual mempunyai ikatan emosi yang lebih kuat.


Sumber:
1.      Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media: Social Shoping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.
Chapter 2: “Creating Community with Media: History, Theories, and Scientific Investigations.” By Nicholas W. Jankowski
2.      Rheingold, H. (1993b) The Virtual Community: Homesteading on the Electronic Frontier.
Reading, MA: Addison-Wesley. Available online: http://www.rheingold.com/vc/book
3.      Rheingold, H. (2000) The Virtual Community: Homesteading on the Electronic Frontier, rev. edn. Cambridge, MA: MIT Press.
4.      Van Dijk, J. (1998)  ‘The reality of virtual communities’. Trends in Communication, 1 (1): 39-63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar