Media dan Komunitas
ilustrasi sebuah komunitas |
Teknologi
bukan hanya diciptakan untuk memudahkan kegiatan manusia di lapangan dalam
artian teknis, namun juga teknologi dibutuhkan untuk kemudahan berkomunikasi. Manusia
sebagai makhluk sosial tidak bisa tidak melakukan komunikasi dengan orang lain
karena kita ditakdirkan untuk saling mengisi dan melengkapi. Perkembangan
kehidupan manusia yang semakin maju mengharuskan sebagian besar diantaranya
memiliki mobilitas yang tinggi guna memenuhi kebutuhannya salah satunya yaitu
melakukan perjalanan. Sebagai contoh, kita tentu tidak bisa melupakan bagaimana
bangsa-bangsa Eropa seperti Inggris, Portugis, dan Belanda rela melakukan
perjalanan beribu-ribu kilometer hanya untuk mendapatkan rempah-rempah terbaik
dengan harga termurah untuk diboyong ke negerinya sebagai penghangat tubuh
dalam dinginnya balutan cuaca Eropa.
Kembali
lagi ke teknologi. Dengan terbentangnya jarak ribuan kilometer manusia tetap
ingin saling terhubung, mendapatkan informasi paling up-to-date, dimana informasi tersebut akan dijadikan sebuah dasar
dalam suatu pengambilan keputusan. Mereka berusaha mendapatkan informasi
secepatnya dengan lengkap dan mudah. Oleh karena itu, manusia membutuhkan suatu
media yang berbasis teknologi untuk bisa berkomunikasi melampaui batasan ruang
dan waktu.
Tahapan perkembangan teknologi
media bisa ditandai dengan kemunculan radio yang ditemukan
oleh Guglielmo Marconi pada tahun 1825 yang
mampu mentransmisikan sinyal berupa kode atau sandi morse. Pada awal kemunculannya, radio digunakan untuk komunikasi antar kapal agar tidak saling bertabrakan maupun hilang. Kemudian, radio mulai diproduksi dan dipasarkan secara massal di tahun 1920-an di Amerika Serikat. Radio digunakan sebagai media pengenalan sekaligus pelestarian budaya Amerika terhadap masyarakatnya (dampak positif). Namun, seiring berjalannya waktu, radio dijadikan sebagai salah satu alat propaganda baik perang maupun politik (dampak negatif).
mampu mentransmisikan sinyal berupa kode atau sandi morse. Pada awal kemunculannya, radio digunakan untuk komunikasi antar kapal agar tidak saling bertabrakan maupun hilang. Kemudian, radio mulai diproduksi dan dipasarkan secara massal di tahun 1920-an di Amerika Serikat. Radio digunakan sebagai media pengenalan sekaligus pelestarian budaya Amerika terhadap masyarakatnya (dampak positif). Namun, seiring berjalannya waktu, radio dijadikan sebagai salah satu alat propaganda baik perang maupun politik (dampak negatif).
Tidak
begitu jauh dari perkembangan radio, sekitar tahun 1960-an televisi mulai go public. Muatan yang disajikan kepada
masyarakat pun bukan main-main, televisi memiliki visi mulia sebagai sarana
edukasi yang lebih efektif dari media lain seperti radio maupun surat kabar.
Namun, pada akhirnya nasib televisi tidak jauh berbeda dengan pendahulunya,
radio. Televisi juga digunakan sebagai alat propaganda (kampanye politik),
serta alat komersil untuk pemenuhan kebutuhan kaum kapitalisme. Sebagaimana yang
terjadi di Indonesia, televisi swasta pertama, Televisi Pendidikan Indonesia
(TPI) harus rela gulung tikar dan berganti kepemimpinan (sekaligus berganti
nama-red) karena ketiadaan dana yang cukup untuk menyokong program-program di
dalamnya. Kini, wajah buram televisi swasta di Indonesia tidak bisa
ditutup-tutupi lagi. Jumlah tayangan yang mengedukasi hanyalah sepersekian dari
tayangan-tayangan yang sangat menghawatirkan dapat merusak moral dan nilai-nilai
masyarakat yang sudah ada. Lantas, berapakah tayangan yang masih layak untuk
ditonton khususnya bagi anak-anak yang sangat rentan terhadap pengaruh media? Jumlahnya
mungkin hanya hitungan jari. Selain mengesampingkan fungsi pendidikan, kita
akui bahwa televisi juga terlalu banyak ditumpangi muatan komersil seperti
iklan segala macam yang dapat membangkitkan emosi konsumtif masyarakat lewat
visualisasi dan audio yang menggugah selera. Selain itu, gempuran yang masif
membuat masyarakat secara tidak sadar cenderung akan terpengaruh.
Selain
televisi, perkembangan film juga merupakan salah satu bawaan perkembangan
teknologi media. Film dijadikan sebagai media untuk memperkenalkan dan atau
melestarikan norma-norma dan budaya masyarakat yang sudah ada. Film bisa juga
dijadikan sebagai alat propaganda. Dalam perang dunia ke-2, tentara Jepang
bahkan diputarkan sebuah film khusus untuk membangkitkan rasa nasionalismenya
tidak peduli bahwa kebengisan mereka akan semakin menjadi-jadi.
Meluncur
lebih jauh, kini kita berada di era dimana dunia seakan dalam genggaman. Ya,
era internet telah mengaburkan batasan-batasan ruang dan waktu. Kehadiran internet
pada mulanya ialah untuk memudahkan orang-orang mengakses informasi lebih cepat
serta kemunculannya ditujukan untuk mengedukasi masyarakat sehingga potensi
kejahatan diharapkan dapat berkurang. Kini, internet seakan menawarkan semuanya
dimana jarak dan waktu benar-benar bukan lagi sebuah batas. Orang-orang yang
terlibat dan beraktivitas di dunia maya yang memiliki persamaan minat dan
tujuan disebut dengan Komunitas Virtual. Istilah
komunitas virtual sendiri dicetuskan pertama kali oleh Rheingold dalam bukunya The Virtual Community: Homesteading on the
Electronic Frontier (2000). Ada hal yang menarik dalam pemikiran Rheingold di
buku ini. Dia mengatakan,
“People in
virtual communities use words on screens to exchange pleasantries and argue,
engange in intelectual discourse, conduct commerce, exchange knowledge, share
emotional support, make plans, brainstorm, gossip, feud, fall in love, find
friends and lose them, play games, flirt, create a little high art and a lot of
idle talk. People in virtual communities do just about everything people do in
real life, but we leave our bodies behind. You can’t kiss anybody and nobody
can punch you in the nose, but a lot can happen within those boundaries.
(1993b:3)”
Saya
tidak mencoba untuk menerjemahkan kata demi kata dalam paragraf tersebut
mengingat terbatasnya kata dalam esay ini. Oleh karena itu, mari kita
bandingkan komunitas virtual dengan lawannya yang sepadan yaitu Komunitas
Organis yang merupakan komunitas nyata dan dipertemukan secara fisik dalam satu
ruang dan waktu. Ya,
pertanyaan selanjutnya adalah: apa-apa saja perbedaan karakteristik antara ‘virtual community’ dengan ‘organic community’? Untuk lebih jelasnya,
mari kita lihat tabel di bawah ini:
Karakteristik
|
Komunitas organis
|
Komunitas virtual
|
Komposisi
dan kegiatan
|
Kelompok
sempit
Beberapa
kegiatan
|
Kehilangan
afiliasi
Kegiatan
khusus
|
Organisasi
sosial
|
Terikat
ruang dan waktu
|
Tidak
terikat ruang dan waktu
|
Bahasa
dan interaksi
|
Verbal
dan nonverbal
|
Verbal
dan paralanguage
|
Budaya
dan identitas
|
Total singular
Homogen
|
Partial plural
Heterogen
|
* Bentuk pertemuan
|
Bertemu secara langsung (meet)
|
Bertatap muka (face)
|
Sumber: Van Dijk, 1998:45
*)
diskusi perkuliahan Teknologi Komunikasi (17/03/2016)
Dari
tabel di atas, ada banyak pertanyaan yang mungkin untuk dimunculkan. Misalnya,
apakah kelompok virtual yang pada suatu waktu memutuskan untuk mengadakan
pertemuan secara fisik dapat dikatakan sebagai kelompok organis? Jawabannya,
belum tentu. Tergantung dari intensitas komunikasi mereka. Apabila komunitas
tersebut hanya mengadakan meet-up sekali
atau dua kali, pada even-even tertentu saja sedang sebagian besar waktunya
dihabiskan untuk berkomunikasi secara virtuan maka kelompok tersebut tidak
serta-merta bisa dikatakan telah berubah menjadi komunitas organis begitu pula
dengan cerita yang sebaliknya.
Satu
lagi pertanyaan yang jawabannya hampir sama yaitu, manakah yang lebih efektif
dan bermanfaat bagi perkembangan individu? Jawabannya juga tergantung. Kita tidak
bisa menjudge komunitas organis lebih
baik karena ikatan emosi yang dibangun lebih baik dari pertemuan secara
langsung karena semua itu kembali lagi kepada tiap individu. Bisa jadi yang di
komunitas virtual mempunyai ikatan emosi yang lebih kuat.
Sumber:
1.
Lievrouw, Leah A. & Sonia
Livingstone. 2006, Handbook of New Media:
Social Shoping and Social Consquences of ITCs, Sage Publication Ltd. London.
Chapter
2: “Creating Community with Media:
History, Theories, and Scientific Investigations.” By Nicholas W. Jankowski
2.
Rheingold, H. (1993b) The Virtual Community: Homesteading on the
Electronic Frontier.
Reading,
MA: Addison-Wesley. Available online: http://www.rheingold.com/vc/book
3.
Rheingold, H. (2000) The Virtual Community: Homesteading on the
Electronic Frontier, rev. edn. Cambridge, MA: MIT Press.
4.
Van Dijk, J. (1998) ‘The reality of virtual communities’. Trends in Communication, 1 (1): 39-63
Tidak ada komentar:
Posting Komentar